Assalamu'alaikum^_^

Khalifah Ali Bin Abi Thalib berpesan untuk kita dalam mencari Ilmu^_^UNZHUR MAA QAALA WALAA TANZHUR MAN QAALA....Perhatikan apa yang dikatakan dan jangan perhatikan siapa yang mengatakan

Friday, May 6, 2011

Sekilas tentang Nu’aim bin Hammad al-Marwazi Rahimahullah

Dari Abu Muhammad Abdullah bin Amr bin al-‘Ash Radhiyalahu ‘Anhuma, ia berkata, “Rasullullah Sallallahu ‘Alai Wa Sallam bersabda, ‘Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian sehingga keinginannya mengikuti apa yang aku bawa.’”
Imam Nawawi Rahimahullah berkata, “Hadits hasan shahih yang kami riwayatkan dalam kitab al-Hujjah(1) dengan sanad shahih”.
Takhrij Hadits:
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah, no.104; Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunah, no.15;
Hadits ini didha’ifkan (dilemahkan) oleh Sayikh al-Albani dalam Zhilalalul Jannah fii Takhrijis Sunnah, no.15 dan Hidayatur Ruwat ila Takhriji Ahaditsil Mashabih wal Misykat, I/131, no. 166.
al-Hafizh Ibnu Rajab Rahimahullah berkata, “Menganggap hadits ini shahih merupakan anggapan yang jauh (dari kebenaran) karena beberapa alasan:
Hadits ini hanya diriwayatkan oleh Nu’aim bin Hammad al-Marwazi Rahimahullah. Kendati Nu’aim bin Hammad ini dianggap sebagai perawi terpercaya oleh sejumlah imam dan haditsnya diriwayatkan Imam Bukhari, karena para ulama hadits berbaik sangaka kepadanya disebabkannya keteguhan diatas Sunnah dan ketegasannya dalam menentang para pengekor hawa nafsu (ahlul bid’ah). Para Ulama hadits mengatakan bahwa Nu’aim keliru dan meragukan pada sebagian hadits. Mereka menemukan beberapa haditsnya yang mungkar, maka mereka memvonis Nu’aim sebagai perawi dha’if. Shalih bin Muhammad al-Hafizh Rahimahullah yang pernah ditanya tentang Nu’aim kemudian beliau Rahimahullah menjawab, “Ia tidak ada apa-apanya, namun ia pengikut Sunnah.”
Shalih berkata,”Nu’aim bin Hammadal-Marwazi menceritakan hadits dari hafalannya dan mempunyai banyak hadits mungkar yang belum disetujui.”Abu Dawud Rahimahullah berkata, “Nu’aim mempunyai dua puluh hadits yang tidak ada asalnya.”
An-Nasa’i Rahimahullah berkata, “Ia perawi dha’if.”di lain waktu beliau Rahimahullah mengatakan,”Ia bukan perawi terpercaya.”Imam an-Nasa’i juga pernah berkata,”Ia banyak meriwayatkan hadits seorang diri dari para imam terkenal, sehingga ia masuk dalam kategori perawi yang tidak bisa dijadikan hujjah.”Abu Zur’ah ad-Dimasyqi Rahimahullah berkata, “Ia menyambungkan sanad hadits, padahal hadits tersebut dianggap mauquf oleh para ulama.”Maksudnya, ia menjadikan hadits mauquf menjadi marfu’. Abu Arubah al-Harrani Rahimahullah berkata, “Masalah orang ini tidak jelas.”Abu Sa’id bin Yunus Rahimahullah berkata,”Ia meriwayatkan hadits-hadits mungkar dari para perawi terpercaya.”Ulama lain berkata bahwa Nu’aim bin Hammad al-Marwazi membuat hadits-hadits palsu.(2)
Sanad Nu’aim bin Hammad al-Marwazi diperselisihkan. Hadits tersebut diriwayatkan darinya dari ats-Tsaqafi dan Hisyam. Hadits tersebut juga diriwayatkan darinya dari ats-Tsaqafi yang berkata, sebagian guru-guru kami, Hisayam atau lainnya, berkata kepada kami. Menurut riwayat tersebut, guru tas-Tsaqafi tidak dikenal. Hadits tersebut juga diriwayatkan dari Nu’aim bin Hammad al-Marwazi dari ats-Tsaqafi yang berkata, sebagian guru-guru kami berkata kepada kami, Hisyam dan lain –lain berkata kepada kami. Menurut riwayat ini, ats-Tsaqafi meriwayatkan hadits tersebut dari guru yang tyidak diketahui namanya dan gurunya meriwayatkannya dari perawi yang tidak dikenal. Jadi, ketidakjelasan perawi semakin bertambah dalam sanad hadits ini.
Dalam sanad hadits tersebut terdapat perawi ‘Uqbah bin Aus as-Sadusi al-Bashri. Ada yang mengatakan, Ya’qub bin Aus. Abu Dawud, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah Rahimahullah meriwayatkan haditsnya dari Abdullah bin Amr Radhiyallahu ‘Anhuma dan ada yang mengatakan Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘Anhuma. Jadi, ada kerancuan dalam sanadnya. Ia dianggap sebagai perawi terpercaya oleh al-‘Ijli, Ibnu Sa’ad, dan Ibnu Hibban. Ibnu Khuzaimah Rahimahullah berkata, “Ibnu Sirin kendati mulia meriwayatkan hadits darinya.”Ibnu Abdil Barr berkata , “Ia Majhul (tidak diketahui identitasnya).”Al-Ghullabi berkata dalam Tarikh-nya,”Para ulama menduga bahwa ‘Uqbah bin Aus tidak mendengar hadits tersebut dari Abdullah bin Amr, namun ia mengatakan mendengarnya dari Abdullah bin Amr.”Jika demikian, riwayat Uqgah bin Aus dari Abdullah bin Amr terputus. Wallahu a’alam.(3)
Syaikh al-Albani Rahimahullah berkata tentang hadits ini: “Ini adalah kesalahan, sanadnya dha’if karena ada Nu’aim bin Hammad, dia adalah perawi yang dha’if. Al-Hafizh Ibnu Rajab memberiya ‘illat (cacat) bukan dengan ‘illat ini saja (tapi juga dengan ‘illat yang lain) karena mengaomentari an-Nawawi yang menshahih-kannya. Silahkan kihat kitab Jami’ul ‘Uluum wal Hikam!
Kemudian penyandaran riwayat yang disebutkan oleh penulis al-Misykat kepada orang-orang yang beliau sebutkan membuat opini bahwa tidak ada perawi yang lebih tinggi tingkatannya yang meriwayatkan hadits ini. Padahal kenyataannya tidak seperti opini itu, al-Hasan bin Sufyan telah meriwayatkan dalam al-Arba’iin dan dia yang termasuk yang mengambil dari Ahmad dan Ibnu Ma’in. Dan al_qsim Ibnu Asakir juga meriwayatkannya dalam Arba’iin, dan dia berkata: Hadits ini gharib.(4)
Imam al-Nawawi Rahimahullah berkata, “Hadits hasn shahih dan kami meriwayatkannya dari kitab al-Hujjah dengan sanad yang shahih.” Ibnu Rajab Rahimahullah mengomentari panilaian Imam an-Nawawi ini dengan mengatakan, “hadits ini tidak shahih.”
Syaikh al-Utsaimin Rahimahullah menganjurkan kaum  Muslimin membaca Syarah Ibnu Rajab dan komentarnya terhadap derajat hadits ini dalam kitab al-Arba’in. Sebab Ibnu Rajab Rahimahullah termasuk pakar hadits. Apabila ia menilai beberapa hadits yang disebutkan Imam an-Nawawi Rahimahullah itu cacat, maka kita akan mengetahui alasan beliau Rahimahullah melemahkannya.
Jadi kesimpulannya, HADITS INI DHAIF (LEMAH).
Akan tetapi makna hadits ini benar, sebab hawa nafsu manusia harus mengikuti risalah yang dibawa oleh Rasullullah Shallallahu ‘Alai Wa Sallam.(5)
Hadits shahih yang semakna dengan hadits diatas yaitu sabda Rasullullah Shallallahu ‘Alai Wa Sallam :
Tidak beriman (dengan sempurna) salah seorang dari kalian hingga aku lebih dicintai daripada orang tuanya, anaknya dan semua manusia.(6)
Syarah Hadits:
Makna hadits di muka yaitu seseorang tidak akan bisa meraih keimanan yang sempurna kecuali kalau kesukaannya sudah sejalan dengan syariat yang dibawa oleh Rasullullah Shallallahu ‘Alai Wa Sallam. Artinya, ia suke atau mencintai semua perintah Nabi Shallallahu ‘Alai Wa Sallam dan membenci semua larangan beliau Shallallahu ‘Alai Wa Sallam.
Kandungan makna seperti ini disebutkan dibanyak tempat dalam al-Qur’an. Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman:
Maka demi Tuhanmu, mereka [pada hakekatnya] tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya (QS. An-Nisa/4:65)
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak [pula] bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan [yang lain] tentang urusan mereka (QS. Al-Ahzab/33:36)
Allah ‘Azza Wa Jalla mengecam orang –orang yang membenci apa yang Allah ‘Azza Wa Jalla cinati dan mencintai apa yang Allah ‘Azza Wa Jalla benci. Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman :
Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah [Al Qur’an] lalu Allah menghapuskan [pahala-pahala] amal-amal mereka (QS. Muhammad/47:9)
Juga firman-Nya yang artinya : “Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Allah dan [karena] mereka membenci [apa yang menimbulkan] keridhaan-Nya; sebab itu Allah menghapus [pahala] amal-amal mereka.”(QS. Muhammad/47:28)
Jadi, setiap mukmin wajib mencintai apa yang dicintai Allah ‘Azza Wa Jalla. Kecintaan ini menuntut mereka untuk melaksanakan kewajiban mereka terhadap Allah ‘Azza Wa Jalla. Jika cintanya bertambah, maka ia akan terdorong untuk mengerjakan yang Sunnah. Sorang Mukmin juga harus membenci apa yang dibenci Allah ‘Azza Wa Jalla, minimal dengan kebencian yang bisa menahannya dari segala yang diharamkan Allah ‘Azza Wa Jalla. Jika rasa benci ini bertambah hingga mampu mengerem dirinya dari segala yang makruh, maka itu merupakan nilai lebih yang harus disyukuri.
Ketika menjelaskan hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim yang artinya, “Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian hingga aku lebih dicintai daripada orang tuanya, anaknya dan semua menusia.” Imam Ibnu Rajab Rahimahullah mengatakan, “Cinta kepada Nabi Shallallahu ‘Alai Wa Sallam merupakan pokok (prinsip) keimanan dan ia bersanding dengan cinta kepada Allah ‘Azza Wa Jalla. Allah ‘Azza Wa Jalla juga mengaitkan cinta kepada Nabi-Nya dengan cinta kepada-Nya serta mengancam orang-orang yang mendahulukan cinta kepada keluarga, harta dan tanah air daripada cinta kepada Allah ‘Azza Wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘Alai Wa Sallam.
Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman :
Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan [dari] berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.”(QS. At-Taubah/9:24)
Begitu juga ketika Umar Radhiyallahu ‘Anhu datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alai Wa Sallam seraya berkata,”Wahai Rasullullah, engkau lebih dicintai dari segala sesuatu kecuali diriku,” Kemudian Nabi Shallallahu ‘Alai Wa Sallam berkata, “Tidak wahai Umar, sampai aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.”Lalu Umar Radhiyallahu ‘Anhu berkata,’Demi Allah, sekarang engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri.’Maka Nabi Shallallahu ‘Alai Wa Sallam berkata, “Sekarang wahai Umar.”(7)
Jadi, mengedepankan cinta kepada Nabi Shallallahu ‘Alai Wa Sallam daripada cinta kepada diri, anak, keluarga, harta , dan lainnya merupakan sebuah kewajiban. Dan cinta kepada beliau  Shallallahu ‘Alai Wa Sallam tidak sempurna kecuali dengan mentaati perintah beliau Shallallahu ‘Alai Wa Sallam. Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman :
Katakanlah: “Jika kamu [benar-benar] mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. Ali Imran/3:31)
Tanda mengedepankan cinta kepada Rasul ialah apabila terjadi pertentangan antara perintah Rasul dengan sesuatu yang dia cintai , kemudian dia lebih memilih taat kepada Rasul. Akan tetapi sebaliknya, jika ia lebih mengedepankan kesenangan dunia yang ia cintai daripada mentaati Rasul, maka ia belum menunaikan kewajiban iman yang dibebankan kepadanya.(8)
Al-Hasan Rahimahullah ketika menjelaskan ayat 31 dari surat Ali Imran, beliau berkata, “Para Sahabat Nabi Shallallahu ‘Alai Wa Sallam berkata, ‘Wahai Rasullullah, sesungguhnya kami sangat mencintai Rabb kami. Allah ingin menjadikan bukti cinta kepada-Nya kemudian menurunkan ayat tersebut.(9)
Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan bahwa Nabi ‘Alai Wa Sallam bersabda :
Tiga perkara apabila ada pada diri seseorang, maka dia akan merasakan manisnya iman; (1) Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada yang lain, (2) ia tidak mencintai seseorang melainkan karena Allah, dan (3) ia benci kembali kepada kekafiran tersebut sebagaimana ia benci dilemparkan ke neraka.(10)
Ibnu Rajab Rahimahullah berkata,”Sesungguhnya manusia akan merasakan manisnya iman apabila hatinya bersih dari penyakit. Apabila hati bersih dari nafsu yang menyesatkan dan syahwat yang diharamkan maka saat itu, hati akan merasakan manisnya iman. Sebaliknya, bila hati sakit atau kotor, maka ia tidak merasakan manisnya iman dan hawa nafsu yang akan menyeretnya ke lembah kebinasaan.(11)
Barangsiapa mencintai Allah dan Rasul-Nya dengan tulus dari lubuk hati, mestinya dia mencintai semua yang dicintai Allah dan Rasul-Nya serta membenci apa saja yang dibenci Allah dan Rasul-Nya. Cinta ini juga menyebabkan dia ridha terhadap semua yang diridhai Allah dan Rasul-Nya serta murka kepada semua yang dimurkai Allah dan Rasul-Nya, atau meninggalkan sesuatu yang dicintai Allah dan Rasul-Nya padahal itu wajib dan ia mampu mengerjakannya, maka ia menunjukkan cintanya kurang sempurna. Oleh karena itu, ia wajib bertaubat kepada Allah ‘Azza Wa Jalla dan kembali menyempurnakan cinta yang wajib.
Abu Ya’qub an-Nahjuri Rahimahullah berkata, “Siapa saja yang mengaku mencintai Allah ‘Azza Wa Jalla, namun tidak menyesuaikan diri dengan Allah dan perintah-Nya maka pengakuannya tidak benar. Setiap orang (yang mengaku) cinta Allah namun tidak takut kepada-Nya berarti dia tertipu.”(12)
Salah seorang dari generasi salaf  berkata, Engkau bermaksiat kepada Allah, padahal engkau mengaku cinta kepada-Nya? Aku bersumpah ini buruk dalam bandingan. Jika saja cintamu benar, engkau pasti taat kepada-Nya. Karena sesnugguhnyapecinta itu taat kepada yang ia cintai.
Semua kemaksiatan itu terjadi disebabkan cinta terhadap hawa nafsu lebih didahulukan daripada cinta Allah dan Rasul-Nya. Allah menjelaskan dalam banyak ayat bahwa sifat orang-orang kafir ialah menuruti hawa nafsu. Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman:
Maka jika mereka tidak menjawab [tantanganmu], ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka [belaka]. Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun (QS. Al-Qashash/28:50)
Begitu juga bid’ah-bid’ah, ia terjadi karena cinta kepada hawa nafsu lebih didahulukan daripada kecintaan kepada syariat. Oleh karena itu, para pelaku bdi’ah dinamakan juga pengekor hawa nafsu.
Begitu juga mencintai figur-figur (tokoh-tokoh tertentu). Seharusnya kecintaan kepada figur itu diselaraskan dengan syariat yang dibawa Rasullullah Shallallahu ‘Alai Wa Sallam. Jadi, orang mukmin wajib mencintai Allah ‘Azza Wa Jalla dan mencintai yang dicintai Allah, misalnya para malaikat, para rasul, para nabi, orang-orang jujur, para syuhada’ dan orang-orang shalih secara umum. Oleh karena itu, diantara indikasi seseorang sudah merasakan manisnya iman ialah ia tidak mencintai orang lain kecuali karena Allah, tidak menjadikamn musuh-musuh Allah sebagai teman dekat (tidak berwala kepada mereka) dan semua orang yang dibenci Allah. Dengan demikian, dia hanya taat kepada Allah semata. Disebutlan dalam hadits, Barangsiapa cinta karena Allah, marah karena-Nya, memberi karena-Nya serta mencegah karena-Nya maka sunnguh ia telah menyempurnakan imannya.(13)
Sebaliknya, barangsiapa mencintai, membenci , memberi atau tidak memberi dengan dilandasi hawa nafsu, berarti keimanannya yang wajib masih kurang . oleh karena itu, ia wajib bertaubat dan kembali mengikuti syariat yang dibawa oleh  Rasullullah Shallallahu ‘Alai Wa Sallam dengan lebih mendahulukan cinta Allah dan Rasul-Nya, serta keridhaan Allah dan Rasul-Nya daripada cinta hawa nafsunya dan seluruh keinginannya. Hawa nafsu maksudnya adalah kebathilan, cinta hawa nafsunya artinya cinta atau cenderung kepada kebathilan. Seperti dalam firman Allah ‘Azza Wa Jalla :
Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. (QS. Shad/38:26)
Allah ‘Azza Wa Jalla juga berfirman :
Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya,  maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal [nya].(QS.an-Nazi’at/79:40-41)
Hawa nafsu terkadang juga diartikan cinta dan kecenderungan secara umum, termasuk kecenderungan kepada kebenaran dan kebalikannya.(14)
Faidah Hadits:
1. Peringatan kepada manusia agar tidak menjadikan akal, kebiasaan dan hawa nafsu sebagai hukum yang melebihi syariat yang dibawa Rasullullah Shallallahu ‘Alai Wa Sallam.
2. Wajib bagi manusia untuk berdalil terlebih dahulu sebelum menghukumi.
3. Manusia tidak dikatakan beriman dengan keimanan yang sempurna hingga kecintaannya selaras dengan syariat yang dibawa oleh Rasullullah Shallallahu ‘Alai Wa Sallam.
4. Wajib hukumnya dengan syariat Islam dalam segala hal.
5. Kecintaan seseorang terhadap apa yang Alah dan Rasul-Nya cintai merupakan indikasi sempurnanya iman.
6. Membenci syariat Rasullullah Shallallahu ‘Alai Wa Sallam akan menafikan iman, dan itu bisa berpengaruh pada asas keimanan atau pada kesempurnaannya.
7. Iman itu bisa bertambah dan berkurang. Ini merupakan prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
8. Wajib mengedepankan sabda Rasullullah Shallallahu ‘Alai Wa Sallam daripada perkataan yang lain.
9. Mencintai apa-apa yang Allah dan Rasul-Nya benci, hukumnya haram.
10. Wajib mendahulukan dalil naqli (al-Qur’an dan hadits) daripada dalil akal apabila keduanya bertentangan.
11. Tidak ada hak pilih bagi seseorang pada sesuatu yang telah diputuskan oleh Allah dan Rasul-Nya.
12. Satiap Muslim wajib mendahulukan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya daripada cinta terhadap anak, orang tua, harta, tanah air, dan lainnya.
Maraji
1. Al-Qur’anul Karim dan terjemahannya.
2. Tafsir ath-Thabari
3. Al-Isti’ab fi bayanil Ashab.
4. Shahih al-Bukhari.
5. Shahih Muslim.
6. Sunan at-Tirmidzi.
7. Sunan Abu Dawud
8. Sunan an-Nasa’i.
9. Sunan Ibnu Majah.
10. Musnad Imam Ahmad.
11. Al-Mu’jamul Kabir lit Thabarani.
12. Hilyatul Auliya.
13. Fat-hul Bari fi Syarhi Shahihil Bukhari, karya Ibnu Rajab al-Hanbali, tahqiq Abu Mu’adz Thariq bin Awadhullah bin Muhammad, cet. III, Daar Ibnil Jauzi 1425 H.
14. Hidayatur Ruwat ila Takhriji Ahaditsil Mashabih wal Misykat.
15. Tahdzibut Tahdzib.
16. Jami’ul ‘Ulum wal Hikam.
17. Syarh al-Arba’in an-Nawawiyyah, Syaikh al-Utsaimin.
18. Al-Fawa’id al-Mustanbathah minal Arba’in an-Nawawiyyah, Abdurrahman bin Bashir al-Barrak.
19. Dan kitab-kitab lainnya.

No comments:

Post a Comment